Nama :
Riana Asrifah
Nim :
11413244012
Review Jurnal “ANALISIS KEBIJAKAN PEMKOT SURABAYA
DALAM MENANGANI ANAK JALANAN” (Erna
Setijaningrum)
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Airlangga
Dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Dinas
Sosial dan 15 Rumah Singgah yang ada di
Surabaya hasilnya sangatlah mengejutkan.
Prosentase jumlah anak jalanan jauh lebih
banyak bila dibandingkan dengan jumlah gelandangan dan pengemis.Berdasarkan
hasil penelitian yang telah dilakukan oleh LIPI dan BPS pada tahun 1999 dapat diketahui bahwa penyebab atau
alasan anak jalanan turun ke jalanan adalah sangat bervariasi. Prosentase terbesar
dari alasan mereka turun ke jalan (menjadi anak jalanan) adalah untuk membantu
orang tua, akibat biaya sekolah kurang dan karena putus sekolah. Hasil pemetaan
dan survey anak jalanan juga menunjukkan bahwa hampir 70% anak jalanan
melakukan pekerjaan sebagai pengamen, kemudian pengasong/ pedagang, dan
pemulung. Sedangkan kelompok umur yang paling dominan turun ke jalan adalah
usia 15 – 18 tahun, kemudian 10 – 14 tahun.
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalampenelitian ini adalah
penelitian ini bersifat deskriptif, dimana peneliti akan meng-gambarkan
karakteristik anak jalanan yang ada di kota Surabaya, selanjutnya peneliti akan
mencari alternative kebijakan yang sesuai dalam menangani anak jalanan dan sesuai
dengan karakteristik anak jalanan tersebut. Dalam mengatasi masalah anak jalanan,
Dinas Sosial melakukan tiga kebijakan yaitu: 1) Preventif, 2) Represif, 3) Pemberdayaan.
Tindakan
preventif dilakukan dengan cara menghimbau kepada masyarakat, terutama
pengendara kendaraan yang yang sering lewat di perempatan jalan/traffic light
yang biasanya digunakan sebagai tempat mangkal para anak jalanan. Para
pengendara ini dihimbau agar jangan sekali-kali memberikan sesuatu/uang kepada
para anak jalanan yang sering menghampiri mereka pada saat lampu traffic light
berwarna merah. Dengan tidak memberikan sesuatu/uang kepada mereka diharapkan
para anak jalanan ini tidak akan melakukan kegiatan lagi di setiapperempatan.
Hal ini perlu adanya kerjasama yang baik dari warga masyarakat agar mau
mengikuti himbauan seperti ini. Berkembangnya jumlah anak jalanan di Surabaya
selain dipengaruhi oleh perkembangan kota (dengan banyaknya traffic light di
perempatan jalan utama), juga karena kebiasaan masyarakat kita yang selalu
memberikan sejumlah uang kepada anak jalanan.
Tindakan represif dilakukan dengan jalan “Operasi Simpatik”, yang
dilakukan oleh Dinas Sosial bekerjasama dengan Badan Kesatuan Bangsa dan
Perlindungan Masyarakat (Bakesbanglinmas), Polwiltabes, dan Dinas Polisi Pamong
Praja (Dispol PP). Kegiatan operasi terhadap anak jalanan ini dilakukan
bersamaan dengan kegiatan operasi terhadap gelandangan dan pengemis (gepeng).
Namun pada pelak-sanaan di lapangan, bila ada anak jalanan yang lari akan
dibiarkan saja, artinya mereka tidak dipaksa untuk ikut dengan petugas lapangan
agar mau dibawa untuk dibina. Hal ini lebih dikarenakan anakjalanan adalah
mereka yang masih tergolong usia anak/remaja, sehingga tidak boleh dilakukan
pemaksaan. Diakui oleh bapak Gatot, yang sering memandu kegiatan “ Operasi
Simpatik”, memang sangat sulit mengajak anak jalanan untuk mau ikut bergabung
dengan petugas agar mendapatkan pembinaan. Hidup di jalanan merupakan suatu
kebebasan bagi para anak jalanan karena mereka bisa hidup bebas tanpa ada
peraturan yang mengekang kebebasan mereka.
Dalam penerapan kebijakan terhadap anak jalanan, yang diberi nama
“Operasi Simpatik”, ada beberapa tahap yang dilaksanakan yaitu: 1) Penertiban,
2) Seleksi, 3) Stimulus, 4) Pembinaan, dan 5) Rehabilitasi Sosial. Dinas
Sosial belum optimal dalam menangani masalah anak jalanan. Hal ini disebabkan:
(1) Belum adanya program khusus yang digunakan untuk mengatasi masalah anak
jalanan; (2) Penanganan terhadap anak jalanan tidak disesuaikan dengan karakteristik
anak jalanan sehingga program yang ada tidak tepat sasaran; (3) Masih kurangnya
fasilitas yang tersedia, menyebabkan tidak berjalannya program sesuai tujuan.
Dinas Sosial tidak memiliki tenaga ahli dan fasilitas tempat pembinaan; (4)
Dinas Sosial tidak menangani secara langsung pembinaan anak jalanan, namun diserahkan
ke rumah singgah. Hal ini menyebabkan ketidakseriusan Dinas Sosial dalam
melakukan pembinaan; dan (5) Tidak ada
follow up atau pemantauan terhadap anak jalanan yang sudah dibina,
sehingga anak jalanan lebih suka turun atau kembali lagi ke jalan daripada
kembali ke keluarganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar